Timbun di Sini, Jual di Sana, Pamer di Sana Sini

“Saya terpaksa harus menjual minyak dengan harga lama. Soalnya, kalau saya jual dengan HET, saya rugi Bu,” ujar pemilik warung kecil kepada istri saya. “Saya baru akan menjual harga sesuai ketetapan pemerintah kalau stock saya habis. Soalnya, saya kulakan sudah dengan harga yang tinggi,” lanjutnya dengan nada sedih. Saya yang biasa jalan kaki bersama sang suami, maklum. Mereka sudah pensiun. Warung kecil itu merupakan sumber penghasilan utama mereka. Dilihat dari ukuran warungnya, saya percaya, ibu itu bukan tipe orang yang mencari keuntungan sebanyak banyaknya.

“Jualannya lebih murah dari di pasar kok,” ujar istri saya. Laporan istri saya di pagi hari itu membuat saya bingung dengan kebijakan pemerintah yang bikin rakyat gonjang ganjing. Kebijakan yang berubah ubah dalam waktu singkat membuat pedagang sampai konsumen kelimpungan. Saat HET ditetapkan 14 ribu, tiba tiba saja rak di supermarket sampai pasar tradisional kosong migor. Saat HET dilepas ke pasar, minyak goreng kemasan langsung melimpah, namun migor curah jadi langka. Debat adanya mafia migor pun terus digoreng.

Kebijakan pemerintah bahwa mereka yang divaksin booster dapat minyak goreng—meskipun masih terbatas di sejumlah wilayah—merupakan kabar gembira. Apalagi ‘sudah divaksin booster’ merupakan syarat mudik. Kali ini kita harus beri acungan jempol. Hebat! Di WAG banyak berseliweran video yang bukan saja menghibur melainkan menyengat hati nurani. Seseorang menurunkan jeruk satu keranjang penuh yang langsung diserbu puluhan kera yang ada di tempat itu. Menariknya, kera itu hanya ambil satu lalu pergi dan membiarkan kera lain mengambil bagiannya. Di akhir video, tampak sekumpulan manusia yang sedang prasmanan. Mereka berebutan makanan sampai tumpah ke mana mana. Ada yang menambahkan tulisan di akhir video: “Mana yang lebih beradab?”

Saat baru kembali dari Australia, seorang ibu mentraktir saya makan all you can eat di sebuah hotel berbintang. Ketika melihat saya mengambil sea food secukupnya, dia berkata, “Ambil yang banyak, biar nggak rugi.” “Kalau saya makan banyak dan kolesterol jahat saya meningkat, siapa yang rugi?” Jawaban saya itu membuat ibu itu tersenyum kecut. Baik ibu pemilik warung kecil di belakang rumah saya maupun pedagang besar yang dianggap menimbun minyak goreng sama sama memakai perhitungan untung rugi. Itu hal yang biasa di dunia usaha. Perbedaannya bukan hanya terletak pada jumlah yang ditimbun tetapi dampaknya.

Bagi pemilik warung kecil, menyimpan beberapa liter minyak goreng sudah membuatnya tertekan. Hati nuraninya merasa bersalah karena tidak mematuhi peraturan pemerintah. Di sisi lain ada pedagang yang ingin mempertahankan bahkan menambah untung dengan menimbun atau bahkan mengekspor minyak keluar negeri karena harganya lebih tinggi. Penimbunan barang apa pun—khususnya sembako—adalah permainan jungkat jungkit yang tidak adil: melejit di satu sisi dan kepejit serta menjerit di sisi lain. Monopoli membuat produsen bisa mengatur harga seenak mereka sendiri. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mensinyalir adanya indikasi kartel dalam dugaan penimbunan minyak goreng. Selama pemerintah tidak bisa mengatur distribusi sembako, pasti banyak orang yang memanfaatkan celah ini. Coba saja lihat di lapangan. Meskipun pemerintah mencoba menggelontor pasar dengan operasi pasar, tetap saja ada kekosongan minyak goreng di sana sini.

Kali ini pun rakyat yang jadi kambing hitam dengan tuduhan melakukan panic buying, padahal rakyat kecil seperti saya—seperti kera tadi—belinya ya untuk kebutuhan sendiri. Sebanyak banyaknya kami beli, hanya untuk kebutuhan maksimal satu bulan. Ketika seorang sahabat mengirimi saya migor lima kilogram yang bisa saya pakai sebulan, apakah saya termasuk penimbun? Pemisahan secara ekonomi membuat jurang perbedaan semakin dalam dan curam. Ungkapan yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin tidak boleh terus dibiarkan. Kehadiran pemerintah yang bisa membuat kebijakan terus dihadapkan. Victor Hugo tanpa tedeng aling aling berkata, “The paradise of the rich is made out of the hell of the poor.”

Orang berpunya masih terus menimbun, sedangkan yang pas pasan masih dituduh memborong minyak meskipun hanya membeli yang bisa ditentengnya. Miris bukan? Itulah sebabnya Eli Khamarov, menulis dengan nada getir: “Poverty is like punishment for a crime you didn’t commit.” Lalu bagaimana kita mengurai benang kemiskinan yang ruwet ini? Satu per satu dan keberpihakan kepada korban. Rakyat kecil bukan hanya perlu diberi pancing tetapi juga diajari caranya dan disediakan kolam ikannya. Jokowi pun marah besar dan ngegas ketika banyak bawahannya yang lebih suka membeli barang impor ketimbang memakai produk sendiri. Bukankah selama ini presiden yang dikenal dekat dengan wong cilik ini terus menerus mengingatkan kita agar UKM bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Desakan reshuffle bukan hanya ditujukan kepada menteri perdagangan tetapi juga siapa saja yang tidak mampu menyelesaikan masalah daerahnya. Itulah sebabnya saya setuju dengan Muhammad Yunus yang berkata tegas, “Poverty is not created by poor people. It is produced by our failure to create situations to support human capabilities.” Penggagas konsep kredit mikro bagi kalangan bawah yang tak bisa pinjam uang di bank biasa ini sungguh cerdas. “Apa hebatnya teori ekonomi yang saya ajarkan itu manakala ada orang orang yang sekarat di trotoar di seberang kuliah tempat saya mengajar sedang bergelut dengan rasa sakit yang mencekik?” ujar retorik penerima Nobel Perdamaian 2006 ini. Kakek yang tetap perkasa di usia 81 tahun ini ingin mengangkat rakyat bawah dengan mengucurkan kredit bagi mereka “untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial dari bawah,” tambahnya.

Jika ekomomi kerakyatan kuat, demo terhadap JHT pasti tidak akan terjadi. Usia produktif kita semestinya diberdayakan sehingga bukan saja membuat mereka sejahtera tetapi juga membuat Indonesia semakin berjaya. Bagaimana hal itu bisa terjadi jika untuk hidup normal di kota sebesar DKI saja mereka menderita karena banjir rutin tiap tahun? Pengerukan sungai yang merupakan tugas pemprov semestinya dilakukan tanpa campur tangan pengadilan karena suara rakyat yang tak didengar. Bukan pula sekadar pamer karya di media sosial, apalagi pamer harta yang justru memperdalam jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Pamer—apa pun—bukan hanya membikin silau orang, tetapi juga bisa membuat rakyat tergiur untuk melakukan investasi yang syur. Begitu tercebur, afiliator kabur. Ternyata mereka bukan sakadar flexing, tetapi merupakan cara marketing. Di satu sisi mereka bisa membuat pasangan bling bling, namun di sisi lain membuat pengikut—baca pengekor—pusing tujuh keliling karena harta yang tidak seberapa terpelanting. Itulah sebabnya Bruce Lee berkata, “Pamer adalah ide bodoh tentang kemuliaan.” Saya lebih senang mengganti kata ‘kemuliaan’ dengan ‘pencitraan’.

Sebagus bagusnya konsep, konsep dan konsep, apalagi kalau dilakukan hanya untuk pencitraan, tidak ada artinya tanpa kerja, kerja dan kerja yang terukur. Pembangunan sirkuit Mandalika beserta hingar bingar kesuksesan balap MotoGP baru usai. Euforia kemegahan dan kemeriahannya masih terasa. Para penonton yang beruntung bisa menyaksikan secara langsung banyak yang pamer di media sosialnya. Bangga boleh, santai jangan. Pekerjaan yang jauh lebih besar menanti. Bagaimana dengan kelanjutan pembangunan IKN? Pembuktiannya adalah soal waktu. Hasilnya membuat Indonesia semakin makmur dan termasyhur atau justru terendam lumpur dan hancur terkubur.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *