NATO Terbelah Hadapi Rusia, Prancis-Jerman Ingin Solusi Damai

Meskipun menunjukkan kompak di depan umum, di belakang layar blok keamanan NATO terbelah menyikapi konflik Ukraina. Media ternama melaporkan masalah ini mengutip dokumen dan sumber anonim yang disebut akrab dengan elite anggota NATO. Laporan dikutip , Rabu (30/3/2022). Anggota NATO terbelah antara kelompok yang ingin berdialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, dan kelompok lain yang ingin memaksakan Ukraina terus melawan Rusia.

Termasuk pernyataan nyata Presiden AS Joe Biden (meskipun kemudian dikoreksi) untuk "perubahan rezim" di Moskow. Kelompok yang ingin perundingan damai diwakili Prancis dan Jerman. Mereka percaya dialog harus berlanjut dan kesepakatan gencatan senjata dicapai antara Rusia dan Ukraina. Kelompok lain menurut sumber , bersikap Putin tidak dapat dipercaya dan dengan demikian pembicaraan tidak boleh diadakan dengannya.

Perbedaan posisi kedua kelompok telah terlihat di berbagai titik dalam retorika resmi, seperti ditunjukkan Bloomberg. Kanselir Jerman Olaf Scholz menyerukan agar perjanjian NATO Rusia yang mengatur penempatan pasukan tetap berlaku. Berlin percaya tindakan itu mungkin masih berguna, sementara yang lain menunjukkan fakta membatalkannya tak akan menghentikan operasi Rusia.

"Prioritas tertinggi untuk saat ini adalah dapat mencapai gencatan senjata sehingga pembunuhan dapat dihentikan," kata juru bicara Scholz tentang posisi Berlin di Ukraina. Presiden Prancis Emmanuel Macron, sebaliknya, menentang pernyataan yang dibuat Presiden AS Joe Biden, yang tampaknya menyerukan penggulingan Putin selama pidatonya di Polandia pekan lalu. "Kita seharusnya tidak meningkatkan, dengan kata kata atau tindakan," kata Macron mengomentari pernyataan Biden.

Kubu yang menentang perundingan dengan Putin, menurut sumber Bloomberg, jumlahnya lebih besar. Ini termasuk Inggris dan sejumlah negara Eropa Tengah dan Timur. Hongaria dikecualikan, karena berusaha tetap netral dalam konflik yang sedang berlangsung dan membela kepentingannya sendiri. Kelompok negara kedua ini skeptis Putin bersedia menandatangani kesepakatan damai, tulis Bloomberg mengutip dokumen yang mereka peroleh.

Presiden Polandia Andrzej Duda secara aktif mempertanyakan kemungkinan mencapai kesepakatan dengan Rusia yang dapat diterima Ukraina. Dia juga dilaporkan mendorong gagasan siapa pun yang mendukung kondisi Moskow secara efektif "mendukung Rusia". Bloomberg juga mengutip seorang diplomat Eropa Timur yang mengklaim siapa pun yang mendorong kesepakatan damai yang tidak melibatkan penarikan pasukan Rusia, hanya "melayani Putin" dan mencari keuntungan domestik.

Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dilaporkan juga skeptis terhadap kesepakatan apa pun dengan Vladimir Putin. Beberapa diplomat Eropa lainnya menyatakan kekhawatiran Macron mungkin mendorong Zelensky untuk menerima perjanjian dengan Rusia sebagai imbalan Ukraina mengadopsi status netral. Presiden Ukraina Zelensky dalam beberapa kali kesempatan menyatakan Kiev siap untuk kompromi untuk posisi semacam itu.

Sekutu NATO dilaporkan juga tidak dapat menyepakati hal hal lain terkait Ukraina, seperti poin yang sedang dinegosiasikan di Istanbul. Misalnya kondisi gencatan senjata apa yang harus dianggap dapat diterima dan jaminan keamanan apa yang harus siap diberikan oleh negara negara barat, jika perjanjian akhir mencakup ketentuan untuk jaminan keamanan oleh pihak ketiga. Proposal tertulis yang diserahkan delegasi Ukraina kepada Rusia selama pembicaraan 29 Maret di Istanbul mengusulkan mengundang sejumlah Negara.

Termasuk anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk menjadi negara penjamin keamanan masa depan Ukraina dengan imbalan penolakannya untuk bergabung aliansi militer dan tuan rumah pasukan asing. Sumber ketidaksepakatan lain dalam aliansi menurut sumber Bloomberg adalah pengiriman senjata ke Ukraina. Sementara beberapa negara menyerukan pengiriman senjata yang lebih kuat, yang lain berhati hati dampak meningkatnya ketegangan dengan Rusia.

Moskow sebelumnya telah memperingatkan barat agar tidak memasok Kiev dengan sistem pertahanan udara dan jet tempur. Rusia meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada 24 Februari, mengutip permintaan dari Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk (DPR dan LPR). Presiden Vladimir Putin menggambarkan tujuan operasi itu sebagai demiliterisasi dan de Nazifikasi Ukraina.

Meskipun pertempuran terus berlanjut di Ukraina, diplomat kedua negara telah memulai negosiasi untuk mengakhiri permusuhan. Sejauh ini, mereka baru berhasil merundingkan pembentukan koridor kemanusiaan. Namun, pada 29 Maret delegasi Ukraina menyampaikan "posisi yang diartikulasikan dengan jelas" di Turki. Pertama, kemungkinan perjanjian gencatan senjata kepada para perunding Rusia selama putaran terakhir pembicaraan yang berlangsung di Istanbul.

Moskow berjanji untuk meninjaunya dan memberikan proposal balasan. Seiring itu, militer Rusia telah memutuskan mengurangis ecara drastic aktivitas militer di dekat Kiev. Menteri Pertahanan Sergei Shoigu menyatakan keputusan itu dilakukan untuk memberi kepercayaan dan sebagai bentuk komitmen mendukung perundingan di Istanbul.

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *